Kaidah ke3
Berkata Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) rahimahullah:
“Kaidah yang ketiga: Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam muncul pada manusia yang ibadahnya berbeda-beda. Diantara mereka ada yang menyembah malaikat, ada yang menyembah para Nabi dan orang-orang shalih, ada yang menyembah batu-batu dan pohon-pohon, dan ada yang menyembah matahari dan bulan dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerangi mereka tanpa membeda-bedakannya. Dalilnya firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلّه
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata hanya untuk Allah.” (Al Anfal: 39)
SYARAH:
Kaidah yang ketiga: Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam diutus kepada kaum musyrikin, diantara mereka ada yang menyembah malaikat, ada yang menyembah matahari dan bulan, ada yang menyembah patung, batu-batu, pohon-pohon, dan ada yang menyembah para wali dan orang-orang shalih.
Inilah kejelekan syirik dimana pelakunya tidak berkumpul pada sesuatu yang satu. Berbeda dengan muwahhidin (orang yang bertauhid), sesungguhnya sesembahan mereka itu satu yaitu Allah subhanahu wa ta’ala:
“Tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah selein Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya.” (Yusuf: 39-40)
Dan diantara kejelekan syirik serta kebathilannya adalah bahwa pelakunya berbeda-beda dalam ibadahnya. Mereka tidak bersepakat dalam satu ketentuan/ patokan, karena tdak berjelan di atas suatu pokok, melaikan berjalan di atas hawa nafsu dan pengakuan-pengakuan yang sesat, sehingga bertambah banyaklah perpecahan mereka.
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً رَّجُلاً فِيهِ شُرَكَاء مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلاً سَلَماً لِّرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلاً الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Az Zumar: 29)
Orang yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla saja seperti seorang budak yang menghamba kepada satu orang dan bersenang-senang dengannya. Dia mengetahui maksudnya dan mengetahu permintaannya sehingga dapat bersenang-senang dengannya. Akan tetapi orang musyrik seperti orang yang mempunyai beberapa tuan, dia tidak tau siapa yang ridha di antara mereka. Setiap tuan mempunyai kesukaan, permintaan, keinginan, dan masing-masing menginginkan dia datang disisinya. Oleh karena itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً رَّجُلاً فِيهِ شُرَكَاء مُتَشَاكِسُونَ, maknanya yaitu dimiliki oleh beberapa orang. Dia tidak tau mana yang ridho di antara mereka.
وَرَجُلاً سَلَماً لِّرَجُلٍ maknanya dikuasai (dimiliki) oleh satu orang saja, dan ia bersenang-senang bersamanya.
Demikianlah permisalan yang dibuat Allah subhanahu wa ta’ala untuk orang musyrik dan muwahhidin.
Orang-orang musyrik itu berbeda-beda dalam ibadahnya, dan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerangi mereka tanpa membeda-bedakannya. Beliau memerangi penyembah berhala, orang-orang Yahudi, Nashara, Majusi serta seluruh kaum musyrikin. Beliau juga memerangi orang-orang yang menyembah malaikat, menyembah para wali dan orang-orang shalih, tanpa membedakan mereka.
Ini adalah bantahan bagi orang yang mengatakan: “Orang yang menyembah patung tidak sama dengan mereka yang menyembah orang shalih atau seorang malaikat dari para malaikat, karena mereka menyembah batu-batu, pohon dan benda mati. Maka mereka yang menyembah orang shalih dan wali dari kalangan wali-wali Allah ‘azza wa jalla tidaklah sama dengan orang yang menyembah berhala.”
Dengan ucapan tersebut, mereka menginginkan bahwa orang yang menyembah kuburan saat ini, hukumnya adalah berbeda dengan orang yang menyembah berhala. Mereka tidak dikafirkan, dan perbuatan mereka tidak dianggap sebagai kesyirikan, sehingga tidak boleh diperangi.
Kami katakan: “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak membedakan mereka, bahkan menganggap mereka seluruhnya musyrik, sehingga halal darah serta harta mereka. Tidak berbeda antara mereka dan orang yang menyembah Al Masih (Isa ‘alaihis salam)-dan Al Masih adalah seorang Rasul Allah ‘azza wa jalla- Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerangi mereka. Demikian pula orang-orang Yahudi, mereka menyembah Uzair –salah seorang nabi atau orang shalih di kalangan mereka- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerangi tanpa membeda-bedakan mereka. Maka, syirik itu tidak berbeda antara penyembah orang shalih, dan penyembah berhala, batu-batu atau pohon-pohom, karena syirik adalah ibadah kepada selain Allah ‘azza wa jalla apapun bentuknya. Oleh karena itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (An Nisaa: 36)
Kata (شَيْئاً) “sesuatupun” dalam konteks larangan mencakup segala sesuatu, yakni seluruh yang disekutukan bersama Allah ‘azza wa jalla, dari kalangan malaikat, rasul, orang-orang shalih, para wali, batu-batu maupun pepohonan.
Berkata Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) rahimahullah:
“Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلّه
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (Al Anfal: 39)
SYARAH:
Merupakan dalil atas diperanginya kaum musyrikin tanpa membedakan sembahan mereka. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: وَقَاتِلُوهُمْ “Dan perangilah mereka” ini adalah umum untuk setiap orang musyrik, tanpa kecuali!
Kemudian Allah menyatakan: حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ “Supaya jangan ada fitnah”, fitnah disini adalah syirik, yaitu: (agar) tidak ada kesyirikan. Maka ini umum untuk seluruh kesyirikan apapun bentuknya, sama saja kesyirikan dengan wali-wali dan orang shalih, dengan batu-batu, pohon, matahari atau bulan.
وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلّه “dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah” yakni menjadilah agama itu seluruhnya untuk Allah ‘azza wa jalla, tidak ada sekutu bagi-Nya seorangpun siapa saja dia. Maka tidak ada perbedaan antara syirik dengan para wali dan orang-orang shalih, atau syirik dengan batu-batu, pohon, setan-setan dan selain mereka.
Berkata Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) rahimahullah:
“Adapun dalilnya matahari dan bulan adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ
“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan.” (Fushilat: 37)
SYARAH:
(Ini) menunjukkan bahwa (di antara mereka) ada yang sujud kepada matahari dan bulan. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang shalat ketika matahari terbit dan terbenamnya dalam rangka menutup jalan (kesyirikan, ed) ke arah tersebut. Karena ada orang yang sujud kepada matahari ketika terbit dan terbenamnya, maka kita dilarang shalat pada dua waktu itu. Meskipun shalat tersebut untuk Allah subhanahu wa ta’ala, namun karena shalat pada waktu itu menyerupai perbuatan orang-orang musyrik, (maka kita) dilarang darinya dalam rangka menutup jalan yang dapat menghantarkan kepada kesyirikan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam datang dengan larangan terhadap kesyirikan serta menutup jalan yang menghantarkan kesana.
Berkata Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) rahimahullah:
“Dan dalilnya malaikat adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلاَ يَأْمُرَكُمْ أَن تَتَّخِذُواْ الْمَلاَئِكَةَ وَالنِّبِيِّيْنَ أَرْبَاباً
“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan.” (Ali Imran: 80)
SYARAH:
Menunjukkan bahwa ada yang menyembah malaikat dan para Nabi, dan sesungguhnya hal itu adalah termasuk syirik.
Para penyembah kubur pada hari ini menyatakan: Bahwa orang yang menyembah malaikat, para nabi serta orang-orang yang shalih tidaklah kafir.
Berkata Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) rahimahullah:
“Dan dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Dan ingatlah ketika Allah berfirman: “Hai ‘Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?” ‘Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib.” (Al Maidah: 116)
SYARAH:
Ini merupakan dalil bahwa ibadah kepada para nabi adalah syirik sebagaimana ibadah kepada berhala.
Di dalamnya terdapat bantahan atas orang yang membedakan hal itu, dari kalangan penyembah kuburan.
Juga bantahan bagi mereka yang menyatakan: Bahwa syirik itu adalah menyembah berhala (saja). Menurut mereka tidaklah sama antara orang yang menyembah berhala dengan orang yang menyembah wali atau orang shalih. Mereka mengingkari persamaan diantara mereka, dan menyengka bahwa syirik itu terbatas pada penyembahan kepada berhala saja. Maka ini termasuk kesalahan yang nyata dari dua sisi:
Sisi pertama: Bahwa Allah ‘azza wa jalla mengingkari semuanya dalam Al Qur’an, dan memerintahkan untuk memerangi mereka seluruhnya.
Sisi kedua: Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak membedakan antara penyembah berhala dengan penyembah malaikat atau orang shalih.
Berkata Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) rahimahullah:
“Dan dalilnya orang-orang shalih adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya; sesungguhnya adzab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (Al Isra’: 57)
SYARAH:
Merupakan dalil bahwa ada orang yang beribadah kepada orang shalih dari kalangan manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah).”
Dikatakan: ayat ini turun kepada orang yang menyembah Al Masih ‘alaihissalam dan ibunya, serta Uzair. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa Al Masih ‘alaihissalam dan ibunya yaitu Maryam, serta Uzair –mereka semua- adalah hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla. Mereka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengharap rahmat-Nya serta takut terhadap adzab-Nya. Mereka adalah hamba yang butuh kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan memerlukan-Nya, berdo’a kepada-Nya serta mencari wasilah kepada-Nya dengan ketaatan.
يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ “mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka”, yaitu kedekatan terhadap Allah ‘azza wa jalla dengan taat dan beribadah kepada-Nya. Kemudian (Allah ‘azza wa jalla) menunjukkan bahwa –mereka itu- tidaklah pantas untuk diibadahi karena mereka adalah manusia yang sangat butuh dan kekurangan, mereka berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala mengharapkan rahmat-Nya, serta takut akan adzab-Nya. Barangsiapa demikian keadaannya, maka tidaklah pantas untuk diibadahi bersama Allah ‘azza wa jalla.
Pendapat yang kedua: ayat ini turun terhadap orang-orang musyrik yang menyembah sekelompok jin. Lalu (sekelompok) jin tersebut masuk Islam sementara orang-orang yang menyembahnya tidak mengetahui keislaman mereka. Mereka (sekelompok jin tadi, ed) mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan ketaatan dan ketundukan, berharap akan rahmat-Nya serta takut akan adzab-Nya. Mereka adalah hamba yang membutuhkan dan fuqara’, sehingga tidak pantas untuk diibadahi.
Dan apapun yang dimaksukan dari ayat yang mulia ini, sesungguhnya ayat itu menunjukkan bahwa tidak boleh beribadah kepada orang-orang shalih, sama saja apakah mereka para Nabi dan shidiqin, atau para wali dan orang-orang shalih. Tidak boleh beribadah kepada mereka, karena semuanya adalah hamba Allah yang butuh kepada-Nya, maka bagaimana mereka itu diibadahi bersama Allah?
Wasilah artinya taat dan dekat. Menurut bahasa, wasilah adalah sesuatu yang menyampaikan kepada yang dimaksud (dituju). Maka sesuatu yang menyampaikan (kita) kepada keridhaan Allah dan surga-Nya, adalah wasilah kepada Allah, dan ini adalah wasilah yang disyariatkan, sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (Al Maidah: 35)
Adapun muharrifun (orang-orang yang menyelewengkan makna) menyatakan: Wasilah adalah engkau menjadikan (sesuatu sebagai) perantara antara kamu dan Allah dari kalangan wali-wali, orang shalih dan orang-orang yang sudah meninggal. Engkau menjadikan mereka sebagai perantara antara kamu dengan Allah subhanahu wa ta’ala untuk mendekatkan dirimu kepada-Nya:
“Kami tidak meyembah mereka melaikan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az Zumar: 3)
Maka pengertian wasilah menurut muharrifun: Engkau menjadikan sesuatu sebagai perantara antara kamu dengan Allah (untuk) mengenalkanmu kepada Allah menyampaikan keperluanmu kepada-Nya, seakan-akan Allah itu tidak tahu, atau seakan-akan Allah itu bakhil, tidak akan memberi kecuali setelah didesak oleh seorang perantara. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan. Mereka menyamakan Allah dengan manusia. Kemudian mereka berkata, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka.” (Al Isra’: 57)
(Ini) menunjukkan bahwa, menjadikan makhluk sebagai perantara kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah perkara yang disyariatkan, karena Allah subhanahu wa ta’ala memuji pelakunya. Dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Al Maidah: 35)
Mereka berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kita untuk mengambil wasilah kepada-Nya, dan pengertian wasilah adalah perantara.” Demikianlah, mereka menyelewengkan kalimat dari tempatnya.
Sedangkan wasilah yang disyariatkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah yaitu dengan ketaatan yang mnedekatkan kepada Allah, yakni bertawassul (mengambil Wasilah) kepada_nya dengan nama-nama-Nya dan Sfat-sifat-Nya. Inilah wasilah yang disyariatkan. Adapun tawassul dengan mahluk kepada Allah, maka hal ini adalah wasilah yang dilarang dan syirik, dan itulah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik dahulu.
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” (Yunus: 18)
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain dari pada Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az Zumar: 3)
Dari sini, maka kesyirikan orang-orang terdahulu dan yang terakhir –sama saja- meskipun mereka menamakannya wasilah, tetap saja dia syirik yang sebenarnya, dan itu bukan wasilah yang disyariatkan oleh Allah, karena Allah tidak menjadikan kesyirikan sebagai wasilah kepada-Nya –selamanya-. Dan bahwa syirik itu justru akan menjauhkan (diri kita) dari Allah.
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka Allah pasti akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (Al Maidah: 72)
Maka bagaimana syirik itu dijadikan sebagai wasilah kepada Allah, Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan.
Syahid (Penguat) dari ayat ini adalah, ayat ini menunjukkan bahwa di sana ada orang musyrik yang beribadah kepada orang shalih, karena Allah menerangkan hal itu, dan menerangkan bahwa yang mereka sembah adalah hamba yang faqir.
يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ yaitu mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan ketaatan.
أَيُّهُمْ أَقْرَبُ yaitu berlomba-lomba dengan ibadah kepada Allah karena butuhnya mereka kepada Allah dan keperluan mereka.
وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ “Dan menharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya.” Maka barangsiapa keadaannya demikian, tidak pantas untuk menjadi sesembahan yang diseru dan diibadahi bersama Allah ‘azza wa jalla.
Berkata Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) rahimahullah:
“Dan dalil tentang batu-batu dan pohon-pohon adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza, dan manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? (An Najm: 19-20)
SYARAH:
Ayat ini merupakan dalil bahwa ada orang-orang musyrik yang beribadah kepada batu-batu dan pohon-pohon.
Firman Allah: أَفَرَأَيْتُمُ “Maka apakah patut” ini adalah pertanyaan pengingkaran, yaitu: kabarkan kepada-Ku; merupakan pertanyaan pengingkaran dan celaan.
اللَّاتَ dengan mentahfif ta’: adalah nama berhala di daerah Thaif, yaitu sebuah batu besar yang diukir, di atasnya dibangun rumah dan padanya ada sitar menyerupai ka’bah. Di sekelilingnya terdapat lapangan, dan di sisinya ada penjaga (juru kunci). Mereka beribadah kepadanya selain Allah. Berhala ini milik kaum Tsaqif dan qabilah-qabilah yang loyal kepada mereka, dan bangga dengannya.
Dan dibaca dengan mentasdid ta’, adalah ismul fa’il dari dia adalah seorang laki-laki shalih yag dulunya mengadoni tepung dan memberi makan orang-orang yang haji. Tatkala dia meninggal, mereka membangun rumah diatas kuburnya, kemudian menutupnya dengan sitar (kelambu). Lalu mereka beribadah kepadanya, dialah Laata.
وَالْعُزَّى Al Uzza adalah pohon dari As Salam di lembah Nahlah antara Makkah dan Thaif. Di sekitarnya terdapat bangunan dan kelambu, dan di sisinya ada juru kunci. Di situ ada setan yang berbicara dengan manusia, sehingga orang-orang yang bodoh menyangka bahwa yang mengajak bicara mereka adalah pohon tersebut atau rumah yang mereka bangun di sana. Padahal yang berbicara dengan mereka adalah setan-setan yang menyesatkan mereka dari jalan Allah ‘azza wa jalla. Berhala ini milik kaum Quraisy dan penduduk Makkah serta orang-orang di sekitarnya.
وَمَنَاةَ Mannah adalah sebuah batu besar yang terletak di dekat gunung Qudid antara Makkah dan Madinah. Berhala ini milik suku Khuza’ah, Aus dan Khazraj. Mereka berihram di sisinya ketika haji, dan mengibadahinya.
Tiga berhala ini merupakan berhala terbesar bangsa Arab.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَنَاةَ أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى
Apakah berhala tersebut mencukupi kalian? Apakah memberi manfaat kepada kalian? Apakah menolong kalian? Apakah berhala itu mencipta, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan? Apa yang kalian peroleh darinya? Ini termasuk bab pengingkaran dan peringatan bagi akal untuk kembali kepada petunjuk-Nya. Dia hanyalah batu besar dan pohon yang tidak dapat memberikan manfaat dan bahaya.
Maka tatkala Allah subhanahu wa ta’ala mendatangkan Islam dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berhasil menguasai Makkah yang dimuliakan, Beliau shallallahu’alaihi wa sallam mengutus Al Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu dan Abu Sufyan bin Harb radhiyallahu’anhu menuju Al Laata di Thaif, kemudian mereka menghancurkannya atas perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam juga mengutus Khalid bin Walid radhiyallahu’anhu ke Al Uzza, lalu dia menghancurkannya, menebang pohon-pohon serta membunuh jin perempuan yang ada disitu yang berbicara dengan manusia dan menyesatkan mereka. Khalid bin Walid radhiyallahu’anhu menghilangkannya hingga tak tersisa –Alhamdulillah-. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu ke Manat, lalu dia menghancurkan dan menghilangkannya. Berhala itu tidak dapat menyelamatkan dirinya, maka bagaimana dia dapat menyelamatkan keluarga dan penyembahnya???
وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? (An Najm: 19-20)
Kemana dia pergi? Apakah dia memberi manfaat kepada kalian? Apakah dirinya bisa menghalangi tentara Allah ‘azza wa jalla dan pasukan muwahhidin (ahli tauhid)?
Maka ayat ini menunjukkan bahwa di sana ada yang menyembah pohon-pohon dan batu-batu, bahkan ketiga berhala tersebut adalah berhala terbesar mereka. Bersamaan dengan ini Allah subhanahu wa ta’ala menghilangkan wujudnya, sementara dia tidak dapat menghindar darinya dan tidak pula memberi manfaat kepada keluarga (pengikutnya). Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyerang dan memerangi mereka, namun berhala-berhala itu tidak dapat menghalanginya.
Maka Syaikh rahimahullah berdalil dengan ayat ini bahwa di sana ada yang menyembah batu-batu dan pohon-pohon. Subhanallah! Manusia yang berakal menyembah pohon-pohon dan batu-batu yang tidak bernyawa, tidak memiliki akal, gerakan serta kehidupan, lalu dimana akalnya manusia? Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan –uluwwan kabira-.
Berkata Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) rahimahullah:
Dan haditsnya Abi Waqid Al Laitsi radhiyallahu’anhu dia berkata:
“Kami keluar bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ke Hunain dan saat itu kami baru saja lepas dari kekafiran (baru masuk Islam-pent). Orang-orang musyrik mempunyai pohon yang mereka beri’tikaf di sana serta menggantungkan senjata-senjata mereka padanya yang dinamakan Dzatu Anwaath, lalu kami melewati sebuah pohon, kemudian kami berkata: Wahai Rasulullah buatkan bagi kami Dzatu Anwaath sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwaath ...al hadits.
SYARAH:
Dari Abi Waqid Al Laitsi radhiyallahu’anhu dan yang masyhur beliau termasuk sahabat yang masuk Islam pada waktu fathul Makkah tahun ke delapan Hijrah.
Al Anwath adalah bentuk jamak dari nauth gantungan, yakni tempat gantungan dimana mereka menggantungkan senjata-senjata mereka padanya untuk mencari berkah dengannya. Lalu berkata sebagian sahabat yang baru masuk Islam dan belum mengetahui tauhid secara sempurna “Buatkan bagi kami Dzatu Anwaath sebagaimana mereka mempunyai Dzatu An Waath.” Ini adalah termasuk jeleknya taqlid dan tasyabbuh (meniru-niru), dan sebesar-besarnya kejelekan. Maka ketika itu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam takjub (heran) dan mengucapkan:
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Jika ada sesuatu yang menakjubkan atau mengingkari sesuatu, beliau shallallahu’alaihi wa sallam bertakbir atau mengucapkan: Subhanallah dan mengulang-ulangnya.
yaitu jalan-jalan yang ditempuh oleh manusia dimana sebagian mengikuti sebagian lainnya. Maka sebab yang membawa kalian atas perbuatan ini adalah mengikuti jalannya orang-orang terdahulu dan meniru kaum musyrikin.
“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya kalian telah menyatakan sebagaimana Bani Israil berkata kepada Musa “buatkan bagi kami sesembahan sebagaimana mereka mempunyai sesembahan, Musa menjawab: “Sungguh kalian adalah kaum yang tidak mengerti.”
Tatkala Musa ‘alaihissalam melewati lautan bersama Bani Israil dan Allah menenggelamkan musuh mereka ke dalam lautan sementara mereka menyaksikannya, mereka melewati orang-orang musyrik yang sedang beri’tikaf pada berhalanya. Lalu mereka berkata kepada Musa ‘alaihissalam, “Buatkan bagi kami sesembahan sebagaimana mereka mempunyai sesembahan”, maka Musa ‘alaihissalam menjawab: “Sungguh kalian adalah kaum yang tidak mengerti.” Musa ‘alaihissalam mengingkari mereka seraya berkata: إِنَّ هَـؤُلاء مُتَبَّرٌ مَّا هُمْ فِيهِ “Sesungguhnya mereka akan dihancurkan oleh kepercayaan yang dianutnya”, yaitu bathil.
وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ “Dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan”, karena syirik.
قَالَ أَغَيْرَ اللّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَـهاً وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ “Musa menjawab: “Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat.” Musa ‘alaihissalam mengingkari mereka sebagaimana nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam mengingkari mereka (para shahabat beliau –pent). Tetapi mereka (Bani Israil) dan para sahabat belum mengerjakannya. Seandainya ketika itu (benar-benar) membuat Dzatu Anwaath, sungguh mereka telah berbuat syirik, namun Allah menjaga mereka, sehingga tatkala nabi mereka melarangnya mereka berhenti, dan mengatakan bahwa perkataan ini (bersumber) dari kebodohan dan bukanlah mereka mengucapkannya karena kesengajaan. Ketika mereka tahu bahwa hal itu adalah syirik, maka mereka berhenti dan tidak melakukannya. Seandainya mereka laksanakan, niscaya mereka telah berbuat syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Maka syahid (penguat) dari ayat ini adalah, bahwa di sana ada yang beribadah kepada pohon-pohon, karena orang-orang musyrik mengambil Dzata Anwaath. Para sahabat yang ilmu belum mantap dihati-hati mereka mencoba untuk meniru kaum musyrikin andai saja Allah tidak menjaga mereka dengan Rasul-Nya.
As Syahid: Bahwa disana ada yang mencari berkah kepada pohon-pohon dan beri’tikaf pada-nya. Dan i’tikaf artinya tinggal di sisinya beberapa waktu dalam rangka mendekatkan diri kepadanya, maka i’tikaf adalah tinggal pada suatu tempat.
Ini menunjukkan beberapa permasalahan yang besar:
Masalah pertama: Bahayanya jahil (tidak mengetahui) tauhid. Barangsiapa tidak mengetahui tauhid, pantas baginya jatuh pada kesyirikan, sementara dia tidak mengetahuinya. Maka wajib mempelajari tauhid dan apa yang bertentangan dengannya dari (perbuatan-perbuatan) syirik, sampai manusia itu berada di atas bashirah (ilmu) sehingga tidak datang dari kebodohannya. Apalagi jika dia tidak melihat seseorang mengerjakan kesyirikan tersebut kemudian dia menyangkanya benar dengan sebab kebodohannya. Maka terkandung di dalamnya; bahaya kebodohan, lebih-lebih dalam masalah aqidah.
Masalah kedua: Hadits ini (menunjukkan) bahayanya meniru orang-orang musyrik, karena kadang hal itu dapat mengantarkan kepada kesyirikan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang meniru suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.”
Maka tidak boleh meniru-niru kaum musyrikin.
Masalah ketiga: Bahwa bertabarruk (meminta berkah) kepada batu-batu dan pohon-pohon serta bangunan adalah syirik, meskipun dinamakan dengan selain namanya. Karena hal itu berarti mencari berkah kepada selain Allah dari batu-batu, pohon-pohon, dan kuburan. Ini adalah syirik meskipun dinamakan dengan nama selain syirik.
0 komentar:
Posting Komentar